INTEGRASI
SOSIAL ANTARETNIK DI KECAMATAN WONOMULYO
Aspek-aspek yang diuraikan pada bagian
ini berkaitan dengan penyebab integrasi sosial bisa berlangsung terus menerus
dan bertahan lama. Aspek-aspek yang penulis temukan adalah eksistensi
masyarakat yang multilingual/bilingual atau masyarakat menguasai lebih dari
satu bahasa dan keseimbangan budaya etnik.
A.
Bahasa
sebagai media komunikasi antareknik
Suatu fenomena yang dapat diamati
dalam kehidupan sosial kelompok etnik di Wonomulyo adalah dalam hal penggunaan
bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai bagian atau salah satu unsur
kebudayaan masih digunakan dalam praktek kehidupan sosial kelompok etnik.
Bahasa ibu kerap terdengar digunakan terutama oleh individu satuan etnik
manakala terjadi interaksi tatap muka dengan sesame etniknya, terutama di
lingkungan masyarakat dimana terdapat pengelompokan perumahan etnik dalam satu
wilayah yang sama atau di wilayah pasar terminal.
Penggunaan bahasa ibu tersebut
terlebih-lebih digunakan di dalam acara-acara pertemuan di dalam kelompok
masing-masing etnik. Acara-acara yang dilaksanakan di dalam
perkumpulan-perkumpulan sosial berupa perkumpulan kedaerahan antara lain. Dalam
perkumpulan-perkumpulan tersebut, maka proses interaksi yang terjadi di
dalamnya umumnya didominasi oleh penggunaan bahasa daerah sebagai aspek yang
paling menonjol dari suatu identitas budaya.
Pengukuhan
simbol-simbol kelompok etnik antara lain berupa penggunaan bahasa daerah
melalui bahasa sosial, pada kelompok etnik tertentu, disadari atau tidak juga
digunakan dalam situasi interaksi atau medan sosial yang lain. Medan sosial
tersebut seperti di pasar, rumah sakit, di terminal atau dipertokoan. Meskipun
kebiasan seperti ini tidak dapat digeneralisasikan pada semua kelompok etnik,
akan tetapi pada kelompok-kelompok etnik tertentu perilaku menggunakan bahasa
daerah seperti ini dapat diamati. Dalam kaitan ini, De Vos (1982) menyatakan
bahwa bahasa membentuk ciri tunggal dari suatu bentuk pemisahan identitas
etnik.
Di
antara beberapa medan sosial seperti yang telah disinggung, maka medan sosial
yang paling mencolok penggunaan bahasa daerahnya adalah di pasar dan di
terminal. Pasar sebagai tempat dimana ada individu berinteraksi dengan berbagai
latar belakang yang berbeda termasuk
latar belakang kelompok etnik, merupakan tempat di mana perbedaan-perbedaan sosial saling bertemu. Karakteristik pasar
yang ada di Wonomulyo antara lain adalah pasar: pasar-pasar yang tidak
berlokasi di wilayah dimana terdapat suatu kelompok etnik tertentu dalam jumlah
mayoritas. Pasar yang berada di lokasi seperti ini di dalamnya ditemui proporsi
pedagang dari kelompok etnik yang relative heterogen, meskipun jumlahnya tidak
persis sama.
Berdasarkan
karakteristik pasar tersebut, maka penggunaan Bahasa Indonesia merupakan hal
yang harus terjadi. Keadaan ini sudah barang tentu sesuai dengan anjuran agar
menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam situasi tempat-tempat umum.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai shared
vabues setidaknya tidak menghilang kesan keliru atau kurang baik antara
satu individu dengan yang lain dalam situasi lingkungan sosial, oleh karena
semua orang dapat mengerti makna pembicaraan yang di lakukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia.
Interaksi
dapat berjalan dengan baik melalui suatu media. Dalam situasi itu bahasa dapat
dikatakan sebagai “shared values”
yang esensial dalam mendukung kelancaran interaksi (Berger dan Lukman, 1990).
Manakalah media bahasa tidak dapat menghasilakan pemahaman atau pengertian
bersama, maka justru sebaliknya dapat menimbulkan kesalahpahaman antarkelompok.
Bagi
individu satuan etnik lain, maka kemampuan menggunakan bahasa lain di luar
etniknya merupakan suatu keuntungan, selain dapat berkomunikasi maka ia juga
akan mendapat respon yang lebih akrab dan agak terbuka. Hal yang demikian oleh
karena bahasa di luar etninya, akan menjadi ukuran individu cara untuk bersikap
terhadap orang lain. Ukuran di maksud antara lain bisa mempercayai seseorang
atau tidak khususnya dalam aktivitas bisnis.
Jadi
manakala bahasa telah digunakan sebagai tolok ukur untuk mendapatkan seseorang
bisa dipercaya atau tidak, maka bahasa dalam hal dapat disebut sebagai garis
pembeda. Dalam keadaan yang demikian pada gilirannya akan menjadi faktor penghambat
terwujudnya iklim interaksi yang berjalan secara seimbang.
Suatu hal yang akan terjadi di dalam
masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik dimana masing-masing
memiliki ciri khas bahasa daerahnya sendiri, maka hal yang sulit dalam rangka mewujudkan
kondisi hubungan yang serasi adalah manakala masing-masing individu atau etnik
cenderung menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerahnya sendiri didalamnya
terdapat berbagai kelompok etnik seperti antara lain pasar,rumah sakit,terminal
bus, atau bahkan di dalam kantor-kantor swasta maupun pemerintah merupakan
tempat dimana kebiasaan menggunakan bahasa daerah diantara individu satuan
etnik dapat diamati. Keadaan yang demikian kedudukan bahasa sebagai suatu
komponen identitas budaya dapat mempertegas bentuk pemisahan antaretnik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi diantara sesame
etnik di tempat-tempat umum. Kendari ada kecenderungan penggunaan bahasa daerah
di tempat-tempat umum pada timbangan individu satuan etnik, angka presentase
yang tertera memperlihatkan bahwa pada umunya lebih dari 50% subyek penelitian masing-masing
kelompok etnik menyatakan bahwa mereka
menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan sesama kelompok etniknya
dalam situasi tempat-tempat umum. Demikian halnya dengan kelompok etnik
Tionghoa yang tidak lagi menggunakan bahasa daerah sendiri tetapi lebih
menggunakan bahasa Indonesia dengan sesame kelompok etniknya manakala berada di
berbagai tempat umum. Hal tersebut disebabkan oleh karena mereka sudah tidak
terlalu mengerti bahasa mereka, sebagaimana dituturkan oleh WLY (44 Tahun)
bahwa:
“
saya sudah termasuk generasi keempat dari nenek buyut saya. Orangtua saya pun
lahir di Wonomulyo ini. Interaksi dengan keluarga sudah tidak sesering dulu
ketika saya kecil dan hanya pada saat itu saya dengar orangtua saya masih
menggunakan bahasa Tionghoa. Tapi kalau bicara sama saya gunakan bahasa
Indonesia. Akhirnya, saya tidak terlalu mengerti lagi secara umum, kecuali
bahasa yang berkaitan dengan adat yang harus selalu diadakan.” (Wawancara di
Kuningan, 14 Januari 2011)
Dalam
kontek penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan sehari-hari
dirumah, maka terdapat variasi penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi di
rumah yang memperlihatkan bahwa kalangan kelompok etnik lebih dari sebagian
menyatakan menggunakan bahasa daerah dalam berinteraksi dirumah, kecuali pada
kelompok etnik Toraja justru kebalikannya, yaitu menggunakan bahasa Indonesia
dalam berinteraksi dirumah. Hal menarik lainnya adalah penggunaan bahasa
campuran antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia cenderung digunakan pada
semua etnik sample ini menunjukkan bahwa sosialisasi bahasa Indonesia cenderung
dilakukan pada kalangan keluarga.
Dalam
keadaan dimana menguatnya kecenderungan penggunaan bahasa daerah akan
menyebabkan bahwa kehilangan nilai esensinya. Dalam kontek interaksi sosial
antaretnik, bahwa esensinya. Dalam kontek interaksi sosial antaretnik, bahwa
penggunaan bahasa mempunyai nilai tersirat berupa kejujuran berupa kejujuran (fairness) dan keterbukaan (ransparency) (Sutanto, 1996). Dalam
kaitan ini, seseorang yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
seharusnya memenuhi kriteria bahwa ia
menerapkan kejujuran dalam keterbukaan dalam berbicara, bahwa bahasa harus
dipahami dalam suatu makna yang sama oleh individu orang berbeda dalam situasi
dimana bahasa itu digunakan. Manakala bahasa justru menimbulkan perbedaan
makna, mana dalam keadaan seperti ini justru nilai kejujuran dan keterbukaan
dalam komunikasi tidak hadir dalam situasi.
Dalam konteks Wonomulyo, masyarakat pada
umumnya dapat dikatakan masyarakat Bilingual atau mampu berkomunikasi lebih
dari satu bahasa. Ada tiga bahasa daerah utama yang mampu praktekkan yaitu
bahasa Jawa, bahasa Mandar, dan bahasa Bugis. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang subjek penelitian SBD (30 Tahun)
yang berdagang campuran di pasar Wonomulyo, bahwa:
“
Orang di sini rata-rata saling mengerti karena masing-masing bahasanya kita
kuasai. Kalau ada orang Mandar yang belanja pada saya maka saya layani dengan
bahasa Mandar, demikian juga dengan orang Jawa. Kadang juga dicampur bahasa
Indonesia. Jadi tidak ada masalah bagi kami.”
(Wawancara
di Toko Anda jalan Padi Unggul Pasar Wonomulyo, 15 Januari 2011).
Dengan demikian, kecenderungan
menggunakan bahasa daerah didalam adanya interaksi umum dikalangan individu
satuan etnik-etnik di Kota Wonomulyo tidak berpengaruh terhadap timbulnya “jurang
pemisah” berupa jarak sosial atau hilangnya perasaan intim antara satu sama
lain. Kekeliruan terhadap makna-makna pembicaraan yang dilakukan dalam bahasa
daerah sulit terjadi. Keadaan masyarakat yang bilingual seperti ini akan
menjadi faktor yang dapat mewujudkan keserasian sosial diantara berbagai
kelompok etnik tersebut.
Fenomena bahasa dalam kehidupan
sehari-hari menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa bisa
menghegemoni masyarakat sehingga
mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan).
Hegemoni sendiri sering diartikan
sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya
jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat,
beroperasi diwilayah publik serta wilayah domestik. Hegemoni sering dibedakan
dengan dominasi, dimana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai
melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai
permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku
sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak
merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasan
dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku
sesuai dengan pemengan kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut
kalah kuat dari daya paksa pemengan dominasi.
Secara ontologis hakikat keberadaan
bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa
dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya
tidak terbatas dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa
senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan
tersendiri. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat
suatu kemiripan, orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa
tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan.
Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia
dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan
contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secara berbeda. Sebagian
orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang
lain, sebuah permainan dari simbol Verbal yang didasarkan dengan dasar indera
kita (pencitraan). Folley (1997:26) menegaskan “A simbol a sign in which the
relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due
to physical similarity or contextual constraints”. Jadi sebuah simbol adalah
sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal
yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial budaya
masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok
masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh dengan makna, akan tetapi bisa
saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki
makna apa-apa atau hampa makna.
Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak
hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dan konsepsinya, tetapi juga
membentuk visi tentang realitas. Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran
bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai peljelmaan pikiran dan perasaan, yaitu
budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebig tinggi dari pada sistem
bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka
bahasa sebagai penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan
selengkap-lengkapnya dan sempurna dari kebudayaan.
Masyarakat yang beragam telah lama
memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentiment primordial (agama,
etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah
membangun nilai-nilai norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial
untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial. Bagi masyarakat, identitas
adalah “harga diri” dan “senjata” untuk menghadapi kekuatan luar lewat
simbol-simbol eksperesif yang terkandung dalam identitas tertentu memberikan
penguatan bagi tindakan-tindakan dimasa lalu, menjelaskan tindakan masa
sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan.
Bahasa sebagai salah satu komponen “shared values” dapat didentifikasikan sebagai
sistem tanda-tanda suara, yang paling penting dalam masyarakat manusia, bahasa
lahir dalam situasi tatap muka (Berger dan lukman, 1990:52;53). Bahasa
merupakan simbol yang esensial dalam mendukung kelancaran hubungan antara
manusia, sesuatu yang dapat dipahami bersama oleh mereka yang menggunakannya.
Manakala bahasa tidak bisa menghasilkan pemahaman bersama, justru akan
menimbulkan salah penafsiran dan tidak menutup kemungkinan timbul rasa curinga
atau bahka salah paham antarkelompok. Mungkin itu sebabnya mengapa
kelompok-kelompok etnik yang memiliki ciri khas bahasa yang berbeda kurang
mendukung terwujudnya iklim hubungan yang serasi, jika masing-masing etnik
cenderung menggunakan bahasanya sendiri dalam situasi dimana terdapat berbagai
kelompok etnik. Keadaan seperti dipasar, rumah sakit, terminal bus atau kantor
swasta maupun pemerintah sebagai tempat pertemuan antaretnik sering terjadi.
Dengan mengutip pandangan dari de
Saussure, Cassirer (1987:186) mengatakan bahwa;
“
de Saussure menarik garis tajam antara la
langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan
proses tuturan (la parole) sebagai
proses temporal yang bersifat individual itu, kita menelaah fakta sosial yang
mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada
si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti itu maka bahasa tidak
akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media
komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya”.
Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum
adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu. Fakta sosial
ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum
bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial.
Langue
yang
memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu
menjadi media integrasi sosial. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis
seperti yang ditulis oleh Eriyanto:
“
Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II)
juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan Bahasa, Sastra, dan kebudayaan
pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah.
Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah
mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau
‘pemakaian bahasa yang baik dan benar’. Perundang kebijakan ini dituangkan di
dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakam bahwa bahasa harus dibina
dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar” (Eriyanto,2000;74-75).
B.
Keseimbangan
Budaya Etnik
Secara umum
dapat dinyatakan bahwa karakteristik kota dapat ditandai dari bermukimnya
sejumlah individu didalam lahan yang terbatas, sebagai pusat perdagangan dan
industri, pertukaran barang dan jasa (Sirjamaki, 1964), sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan (Surjo, 1989).
Dengan
karakteristik trsebut maka sesungguhnya Kota Wonomulyo dapat dikatakan sebagai
terjadinya proses integrasi sosio-kultural masyarakat yang hidup didalamnya.
Akan tetapi proses integrasi sosio-kultural tersebut mengalami kendala oleh
beragamnya penduduk yang mendiami lingkungan kota,antara lain meliputi aspek
pendidikan, pekerjaan, agama, permukiman, dan kelompok etnik. Aspek yang
terakhir ini lebih menonjolkan unsur-unsur budaya yang menjadi pemandu didalam
berperilaku dalam sistem sosial kemasyarakatan.
Sebagai
suatu tempat dimana terjadinya interaksi sosial, maka kota secara garis besar
dihuni oleh dua kelompok yaitu kelompok penduduk asli setempat (host
population) dan kelompok pendatang (immigrant). Brunner (1974) menyatakan ada
tiga faktor yang menentukan corak interaksi antar kelompok antarkelompok
tersebut adalah dalam kehidupan dikota yaitu: 1) faktor demografi; 2) presepsi
(perception); dan 3) tujuan (purpose). Pada aspek kekuasaan maka kelompok yang
memegang kekuasaan diantara berbagai kelompok etnik disebut kelompok dominan
(dominant grup) sebagai yang banyak
menentukan “aturan permainan” dalam masyarakat majemuk tersebut. Kekuasaan
kelompok dominan berasal dari kombinasi faktor-faktor: 1) kekuatan material;
2)ideology; 3) hak historis. Kekuatan material meliputi kekuatan ekonomi dan
demografis yaitu penguasaan sumber hidup dan jumlah manusia (man power). Faktor
ideologi berkaitan dengan tingkatan budaya yang dimiliki kelompok dominan yaitu
berupa kekuatan nilai budaya dalam mewarnai dinamika interaksi sosial. Adapun
hak historis merupakan status kelompok etnik tersebut apakah tergolong sebagai
tuan rumah atau pendidik asli (host population) atau pula sebagai penduduk
pendatang (immigration).
Faktor persepsi merupakan faktor yang
demikian mewarnai perilaku interaksi antar kelompok etnik didalam konteks
kehidupan kota. Faktor-faktor yang berkaitan dengan timbulnya persepsi adalah
perbedaan-perbedaan yang tampak pada masing-masing kelompok seperti kebiasaan, keyakinan, dan
perilaku-perilaku yang diidentifikasikan sebagai ciri-ciri khas individu
etnik.(Mithchell, 1974). Mengacu pada suatu pemikiran bahwa kelompok etnik
dapat dikelompokkan sebagai suatu kategori sturuktual serta sebagai suatu
fenomena budaya.
Brunner (1974) mengemukakan unsur-unsur Undominant Culture yang berdasarkan pada
tiga kriteria yaitu; 1) ketiadaan kelompok etnik dalam jumlah mayoritas; 2) ketiadaan
budaya kelompok etnik tertentu yang menjadi acuan, dan 3) posisi elit kekuasaan
yang diduduki secara mayoritas oleh individu dari kelompok etnik tertentu.
Dengan kondisi yang demikian menurut Brunner sulit terjadi keadaan harmoni,
keserasian hidup antar kelompok oleh karena hubungan antara individu-individu
dari kelompok etnik yang berbeda cenderung tegang, ketiadaan saling percaya,
dan didasarkan pada stereotip etnik.
Hasil
kajian mengungkapkan hal-halberikut, yaitu: 1) kehidupann sosial penduduknya
Kota Wonomulyo yang didalamnya tidak ditemui populasi kelompok etnik yang
menduduki sebagai kelompok dominan terutama dalam aspek budaya (dominan culture), menampakkan suatu
dinamika iklim sosial yang serasi.
Pada wilayah tertentu di Kota Wonomulyo
dimana mayoritas penduduknya adalah etnik Jawa, maka dalam hal-hal tertentu
dari kehidupan sosial masyarakat tampak diwarnai oleh nuansa nilai dan budaya
Jawa seperti nilai kebersamaan yang dicerminkan dalam kegiatan pembacaan doa
selamat dalam acara “kenduri” dalam rangka pelaksanaan pesta
perkawinan,khinatan, atau syukuran. Dalam kegiatan kenduri tersebut tuan rumah
atau penyelenggara hajatan mengundang tetangga untuk menghadiri acara tersebut.
Kegiatan yang disebut “kenduri” pada dasarnya merupakan kebiasaan yang berlaku
di kalangan kelompok etnik Jawa, akan tetapi kebiasaan seperti ini juga diikuti
oleh kelompok etnik lain yang tinggal di Kota Wonomulyo.
Bentuk lain adalah adanya kebiasaan
saling membantu atau gotong royong manakala terjadi musibah, atau bantuan
seperti pesta pernikahaan, kematian, sakit, mendirikan rumah, bentuk-bentuk
bantuan tersebut dapat berupa sumbangan materi, memberikan pinjaman untuk
alat-alat tertentu seperti kendaraan untuk mengurus kepentingan musibah, atau
bantuan secara fisik berupa tenaga dan pikiran menyelesaikan hal-hal yang
berkenaan dengan musibah itu.
Kebiasaan lain yang berlaku di kalangan
kelompok etnik Jawa yaitu kegiatan “bersih Desa”. Kegiatan ini oleh Kodiran
(1983) merupakan suatu tradisi desa yang sudah dilakukan didesa-desa yang
umumnya terdapat dipulau Jawa berupa kegiatan membuat, memperbaiki dan
memelihara jalan, jembatan, bangunan sekolah desa atau balai desa, saluran air,
memelihara bendungan, dan merawat makam atau masjid.
Mencermati uraian-uraian dalam hasil
penelitian ini, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Dasar
kehidupan ini adalah interaksi social. Interaksi sosial dengan berbagai bentuknya
(asosiatif dan disosiatif) bisa terjadi dan bertahan lama disebabkan oleh adanya
saling pengertian antar individu. Dalam konteks interaksionisme simbolik,
interaksi terjadi karena adanya simbol yang dipahami bersama.
Indikator-indikator terdalam dalam proses interaksi tersebut adalah terjadinya
internalisasi, objektifasi, dan reproduksi yang melahirkan prasangka,
stereotype, yang akhirnya melahirkan jarak sosial.
Terjadinya suatu kebersamaan,
akomodasi, asimilasi merupakan gambaran terwujudnya pemahaman terhadap suatu
simbol yang sama oleh individu dalam skala besar. Meskipun terdapat stereotipe,
prasangka, yang mewarnai proses tersebut tetapi stereotipe dan prasangka
tersebut bersifat positif sehingga melahirkan jarak sosial yang dekat.
Pada saat yang sama, terciptanya
kesaling pahaman terhadap simbol yang sama diawali oleh pemahaman terhadap
bahasa masing-masing individu atau etnik. Seorang etnik Jawa yang memahami
bahasa etnik lain akan mudah menyesuaikan diri dengan etnik tersebut. Poin
terpenting dalam hal ini adalah bahwa masing-masing etnik akan berusaha
memahami bahasa etnik lainnya karena adanya kepentingan yang sama khususnya
pada bidang ekonomi.
Di lokasi penelitian, bentuk-bentuk
kerjasama, akomodasi, dan asimilasi terwujud dalam berbagai aktifitas individu
dan masyarakat. Aktifitas tersebut menyangkut perkawinan antar etnik,
gotongroyong baik dalam pertetanggaan
maupun pertanian, kegiatan hari besar nasional dan keagamaan dan pesta rakyat.
Sedangkan kompetisi merupakan bagian inheren dalam diri individu untuk selalu
memperlihatkan prestasi yang diraih dalam kehidupan.
Dalam konteks tersebut diatas,
integrasi sosial akan terwujud dengan sendirinya. Kondusifnya kehidupan sosial
warga dilokasi penelitian menunjukkan adanya keserasian dan harmoni sosial
diantara mereka. Hal inilah yang menjadi dasar keseimbangan sistem sosial (equilibrium), dimana sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem keagamaan,
dan sebagainya akan mengikuti keserasian social masyarakat yang menjalankan
sistem sosial tersebut.
Uraian-uraian tersebut diatas
menunjukkan bahwa pendekatan interaksionisme simbolik yang sifatnya analisis
mikro dapat dipergunakan untuk mengkaji aspek-aspek makro seperti integrasi.
Titik temuannya adalah pada interaksi antar individu (mikro) akan menentukan
kualitas sistem sosial (makro).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar