Belajarlah bersungguh-sungguh agar kelak kau menjadi orang yang berguna.............

Kamis, 30 Agustus 2012

INTEGRASI SOSIAL ANTARETNIK


INTEGRASI SOSIAL ANTARETNIK DI KECAMATAN WONOMULYO

          Aspek-aspek yang diuraikan pada bagian ini berkaitan dengan penyebab integrasi sosial bisa berlangsung terus menerus dan bertahan lama.  Aspek-aspek  yang penulis temukan adalah eksistensi masyarakat yang multilingual/bilingual atau masyarakat menguasai lebih dari satu bahasa dan keseimbangan budaya etnik.
A.               Bahasa  sebagai media komunikasi antareknik
          Suatu fenomena yang dapat diamati dalam kehidupan sosial kelompok etnik di Wonomulyo adalah dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai bagian atau salah satu unsur kebudayaan masih digunakan dalam praktek kehidupan sosial kelompok etnik. Bahasa ibu kerap terdengar digunakan terutama oleh individu satuan etnik manakala terjadi interaksi tatap muka dengan sesame etniknya, terutama di lingkungan masyarakat dimana terdapat pengelompokan perumahan etnik dalam satu wilayah yang sama atau di wilayah pasar terminal.
          Penggunaan bahasa ibu tersebut terlebih-lebih digunakan di dalam acara-acara pertemuan di dalam kelompok masing-masing etnik. Acara-acara yang dilaksanakan di dalam perkumpulan-perkumpulan sosial berupa perkumpulan kedaerahan antara lain. Dalam perkumpulan-perkumpulan tersebut, maka proses interaksi yang terjadi di dalamnya umumnya didominasi oleh penggunaan bahasa daerah sebagai aspek yang paling menonjol dari suatu identitas budaya.
Pengukuhan simbol-simbol kelompok etnik antara lain berupa penggunaan bahasa daerah melalui bahasa sosial, pada kelompok etnik tertentu, disadari atau tidak juga digunakan dalam situasi interaksi atau medan sosial yang lain. Medan sosial tersebut seperti di pasar, rumah sakit, di terminal atau dipertokoan. Meskipun kebiasan seperti ini tidak dapat digeneralisasikan pada semua kelompok etnik, akan tetapi pada kelompok-kelompok etnik tertentu perilaku menggunakan bahasa daerah seperti ini dapat diamati. Dalam kaitan ini, De Vos (1982) menyatakan bahwa bahasa membentuk ciri tunggal dari suatu bentuk pemisahan identitas etnik.
Di antara beberapa medan sosial seperti yang telah disinggung, maka medan sosial yang paling mencolok penggunaan bahasa daerahnya adalah di pasar dan di terminal. Pasar sebagai tempat dimana ada individu berinteraksi dengan berbagai latar belakang  yang berbeda termasuk latar belakang kelompok etnik, merupakan tempat di mana perbedaan-perbedaan  sosial saling bertemu. Karakteristik pasar yang ada di Wonomulyo antara lain adalah pasar: pasar-pasar yang tidak berlokasi di wilayah dimana terdapat suatu kelompok etnik tertentu dalam jumlah mayoritas. Pasar yang berada di lokasi seperti ini di dalamnya ditemui proporsi pedagang dari kelompok etnik yang relative heterogen, meskipun jumlahnya tidak persis sama.
Berdasarkan karakteristik pasar tersebut, maka penggunaan Bahasa Indonesia merupakan hal yang harus terjadi. Keadaan ini sudah barang tentu sesuai dengan anjuran agar menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam situasi tempat-tempat umum. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai shared vabues setidaknya tidak menghilang kesan keliru atau kurang baik antara satu individu dengan yang lain dalam situasi lingkungan sosial, oleh karena semua orang dapat mengerti makna pembicaraan yang di lakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Interaksi dapat berjalan dengan baik melalui suatu media. Dalam situasi itu bahasa dapat dikatakan sebagai “shared values” yang esensial dalam mendukung kelancaran interaksi (Berger dan Lukman, 1990). Manakalah media bahasa tidak dapat menghasilakan pemahaman atau pengertian bersama, maka justru sebaliknya dapat menimbulkan  kesalahpahaman antarkelompok.
Bagi individu satuan etnik lain, maka kemampuan menggunakan bahasa lain di luar etniknya merupakan suatu keuntungan, selain dapat berkomunikasi maka ia juga akan mendapat respon yang lebih akrab dan agak terbuka. Hal yang demikian oleh karena bahasa di luar etninya, akan menjadi ukuran individu cara untuk bersikap terhadap orang lain. Ukuran di maksud antara lain bisa mempercayai seseorang atau tidak khususnya dalam aktivitas bisnis.
Jadi manakala bahasa telah digunakan sebagai tolok ukur untuk mendapatkan seseorang bisa dipercaya atau tidak, maka bahasa dalam hal dapat disebut sebagai garis pembeda. Dalam keadaan yang demikian pada gilirannya akan menjadi faktor penghambat terwujudnya iklim interaksi yang berjalan secara seimbang.
Suatu hal yang akan terjadi di dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik dimana masing-masing memiliki ciri khas bahasa daerahnya sendiri, maka hal yang sulit dalam rangka mewujudkan kondisi hubungan yang serasi adalah manakala masing-masing individu atau etnik cenderung menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerahnya sendiri didalamnya terdapat berbagai kelompok etnik seperti antara lain pasar,rumah sakit,terminal bus, atau bahkan di dalam kantor-kantor swasta maupun pemerintah merupakan tempat dimana kebiasaan menggunakan bahasa daerah diantara individu satuan etnik dapat diamati. Keadaan yang demikian kedudukan bahasa sebagai suatu komponen identitas budaya dapat mempertegas bentuk pemisahan antaretnik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi diantara sesame etnik di tempat-tempat umum. Kendari ada kecenderungan penggunaan bahasa daerah di tempat-tempat umum pada timbangan individu satuan etnik, angka presentase yang tertera memperlihatkan bahwa pada umunya lebih dari 50% subyek penelitian masing-masing kelompok etnik  menyatakan bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan sesama kelompok etniknya dalam situasi tempat-tempat umum. Demikian halnya dengan kelompok etnik Tionghoa yang tidak lagi menggunakan bahasa daerah sendiri tetapi lebih menggunakan bahasa Indonesia dengan sesame kelompok etniknya manakala berada di berbagai tempat umum. Hal tersebut disebabkan oleh karena mereka sudah tidak terlalu mengerti bahasa mereka, sebagaimana dituturkan oleh WLY (44 Tahun) bahwa:
“ saya sudah termasuk generasi keempat dari nenek buyut saya. Orangtua saya pun lahir di Wonomulyo ini. Interaksi dengan keluarga sudah tidak sesering dulu ketika saya kecil dan hanya pada saat itu saya dengar orangtua saya masih menggunakan bahasa Tionghoa. Tapi kalau bicara sama saya gunakan bahasa Indonesia. Akhirnya, saya tidak terlalu mengerti lagi secara umum, kecuali bahasa yang berkaitan dengan adat yang harus selalu diadakan.” (Wawancara di Kuningan, 14 Januari 2011)
 Dalam kontek penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan sehari-hari dirumah, maka terdapat variasi penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi di rumah yang memperlihatkan bahwa kalangan kelompok etnik lebih dari sebagian menyatakan menggunakan bahasa daerah dalam berinteraksi dirumah, kecuali pada kelompok etnik Toraja justru kebalikannya, yaitu menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dirumah. Hal menarik lainnya adalah penggunaan bahasa campuran antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia cenderung digunakan pada semua etnik sample ini menunjukkan bahwa sosialisasi bahasa Indonesia cenderung dilakukan pada kalangan keluarga.
          Dalam keadaan dimana menguatnya kecenderungan penggunaan bahasa daerah akan menyebabkan bahwa kehilangan nilai esensinya. Dalam kontek interaksi sosial antaretnik, bahwa esensinya. Dalam kontek interaksi sosial antaretnik, bahwa penggunaan bahasa mempunyai nilai tersirat berupa kejujuran berupa kejujuran (fairness) dan keterbukaan (ransparency) (Sutanto, 1996). Dalam kaitan ini, seseorang yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi seharusnya memenuhi kriteria  bahwa ia menerapkan kejujuran dalam keterbukaan dalam berbicara, bahwa bahasa harus dipahami dalam suatu makna yang sama oleh individu orang berbeda dalam situasi dimana bahasa itu digunakan. Manakala bahasa justru menimbulkan perbedaan makna, mana dalam keadaan seperti ini justru nilai kejujuran dan keterbukaan dalam komunikasi tidak hadir dalam situasi.
Dalam konteks Wonomulyo, masyarakat pada umumnya dapat dikatakan masyarakat Bilingual atau mampu berkomunikasi lebih dari satu bahasa. Ada tiga bahasa daerah utama yang mampu praktekkan yaitu bahasa Jawa, bahasa Mandar, dan bahasa Bugis. Sebagaimana dikemukakan  oleh seorang subjek penelitian SBD (30 Tahun) yang berdagang campuran di pasar Wonomulyo, bahwa:
“ Orang di sini rata-rata saling mengerti karena masing-masing bahasanya kita kuasai. Kalau ada orang Mandar yang belanja pada saya maka saya layani dengan bahasa Mandar, demikian juga dengan orang Jawa. Kadang juga dicampur bahasa Indonesia. Jadi tidak ada masalah bagi kami.” 
(Wawancara di Toko Anda jalan Padi Unggul Pasar Wonomulyo, 15 Januari 2011).
Dengan demikian, kecenderungan menggunakan bahasa daerah didalam adanya interaksi umum dikalangan individu satuan etnik-etnik di Kota Wonomulyo tidak berpengaruh terhadap timbulnya “jurang pemisah” berupa jarak sosial atau hilangnya perasaan intim antara satu sama lain. Kekeliruan terhadap makna-makna pembicaraan yang dilakukan dalam bahasa daerah sulit terjadi. Keadaan masyarakat yang bilingual seperti ini akan menjadi faktor yang dapat mewujudkan keserasian sosial diantara berbagai kelompok etnik tersebut.
Fenomena bahasa dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa bisa menghegemoni masyarakat sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi diwilayah publik serta wilayah domestik. Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, dimana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemengan kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemengan dominasi.
Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat suatu kemiripan, orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secara berbeda. Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain, sebuah permainan dari simbol Verbal yang didasarkan dengan dasar indera kita (pencitraan). Folley (1997:26) menegaskan “A simbol a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints”. Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh dengan makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas. Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai peljelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebig tinggi dari pada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sempurna dari kebudayaan.
Masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentiment primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial. Bagi masyarakat, identitas adalah “harga diri” dan “senjata” untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol eksperesif yang terkandung dalam identitas tertentu memberikan penguatan bagi tindakan-tindakan dimasa lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan.
Bahasa sebagai salah satu komponen “shared values” dapat didentifikasikan sebagai sistem tanda-tanda suara, yang paling penting dalam masyarakat manusia, bahasa lahir dalam situasi tatap muka (Berger dan lukman, 1990:52;53). Bahasa merupakan simbol yang esensial dalam mendukung kelancaran hubungan antara manusia, sesuatu yang dapat dipahami bersama oleh mereka yang menggunakannya. Manakala bahasa tidak bisa menghasilkan pemahaman bersama, justru akan menimbulkan salah penafsiran dan tidak menutup kemungkinan timbul rasa curinga atau bahka salah paham antarkelompok. Mungkin itu sebabnya mengapa kelompok-kelompok etnik yang memiliki ciri khas bahasa yang berbeda kurang mendukung terwujudnya iklim hubungan yang serasi, jika masing-masing etnik cenderung menggunakan bahasanya sendiri dalam situasi dimana terdapat berbagai kelompok etnik. Keadaan seperti dipasar, rumah sakit, terminal bus atau kantor swasta maupun pemerintah sebagai tempat pertemuan antaretnik sering terjadi.
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Cassirer (1987:186) mengatakan bahwa;
“ de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal yang bersifat individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya”.
Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu. Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial.
Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis seperti yang ditulis oleh Eriyanto:
“ Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan Bahasa, Sastra, dan kebudayaan pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau ‘pemakaian bahasa yang baik dan benar’. Perundang kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakam bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar” (Eriyanto,2000;74-75).
B.   Keseimbangan Budaya Etnik 
Secara umum dapat dinyatakan bahwa karakteristik kota dapat ditandai dari bermukimnya sejumlah individu didalam lahan yang terbatas, sebagai pusat perdagangan dan industri, pertukaran barang dan jasa (Sirjamaki, 1964), sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan (Surjo, 1989).
Dengan karakteristik trsebut maka sesungguhnya Kota Wonomulyo dapat dikatakan sebagai terjadinya proses integrasi sosio-kultural masyarakat yang hidup didalamnya. Akan tetapi proses integrasi sosio-kultural tersebut mengalami kendala oleh beragamnya penduduk yang mendiami lingkungan kota,antara lain meliputi aspek pendidikan, pekerjaan, agama, permukiman, dan kelompok etnik. Aspek yang terakhir ini lebih menonjolkan unsur-unsur budaya yang menjadi pemandu didalam berperilaku dalam sistem sosial kemasyarakatan.
          Sebagai suatu tempat dimana terjadinya interaksi sosial, maka kota secara garis besar dihuni oleh dua kelompok yaitu kelompok penduduk asli setempat (host population) dan kelompok pendatang (immigrant). Brunner (1974) menyatakan ada tiga faktor yang menentukan corak interaksi antar kelompok antarkelompok tersebut adalah dalam kehidupan dikota yaitu: 1) faktor demografi; 2) presepsi (perception); dan 3) tujuan (purpose). Pada aspek kekuasaan maka kelompok yang memegang kekuasaan diantara berbagai kelompok etnik disebut kelompok dominan (dominant grup) sebagai  yang banyak menentukan “aturan permainan” dalam masyarakat majemuk tersebut. Kekuasaan kelompok dominan berasal dari kombinasi faktor-faktor: 1) kekuatan material; 2)ideology; 3) hak historis. Kekuatan material meliputi kekuatan ekonomi dan demografis yaitu penguasaan sumber hidup dan jumlah manusia (man power). Faktor ideologi berkaitan dengan tingkatan budaya yang dimiliki kelompok dominan yaitu berupa kekuatan nilai budaya dalam mewarnai dinamika interaksi sosial. Adapun hak historis merupakan status kelompok etnik tersebut apakah tergolong sebagai tuan rumah atau pendidik asli (host population) atau pula sebagai penduduk pendatang (immigration).
Faktor persepsi merupakan faktor yang demikian mewarnai perilaku interaksi antar kelompok etnik didalam konteks kehidupan kota. Faktor-faktor yang berkaitan dengan timbulnya persepsi adalah perbedaan-perbedaan yang tampak pada masing-masing  kelompok seperti kebiasaan, keyakinan, dan perilaku-perilaku yang diidentifikasikan sebagai ciri-ciri khas individu etnik.(Mithchell, 1974). Mengacu pada suatu pemikiran bahwa kelompok etnik dapat dikelompokkan sebagai suatu kategori sturuktual serta sebagai suatu fenomena budaya.
Brunner (1974) mengemukakan unsur-unsur Undominant Culture yang berdasarkan pada tiga kriteria yaitu; 1) ketiadaan kelompok etnik dalam jumlah mayoritas; 2) ketiadaan budaya kelompok etnik tertentu yang menjadi acuan, dan 3) posisi elit kekuasaan yang diduduki secara mayoritas oleh individu dari kelompok etnik tertentu. Dengan kondisi yang demikian menurut Brunner sulit terjadi keadaan harmoni, keserasian hidup antar kelompok oleh karena hubungan antara individu-individu dari kelompok etnik yang berbeda cenderung tegang, ketiadaan saling percaya, dan didasarkan pada stereotip etnik.
  Hasil kajian mengungkapkan hal-halberikut, yaitu: 1) kehidupann sosial penduduknya Kota Wonomulyo yang didalamnya tidak ditemui populasi kelompok etnik yang menduduki sebagai kelompok dominan terutama dalam aspek budaya (dominan culture), menampakkan suatu dinamika iklim sosial yang serasi.
Pada wilayah tertentu di Kota Wonomulyo dimana mayoritas penduduknya adalah etnik Jawa, maka dalam hal-hal tertentu dari kehidupan sosial masyarakat tampak diwarnai oleh nuansa nilai dan budaya Jawa seperti nilai kebersamaan yang dicerminkan dalam kegiatan pembacaan doa selamat dalam acara “kenduri” dalam rangka pelaksanaan pesta perkawinan,khinatan, atau syukuran. Dalam kegiatan kenduri tersebut tuan rumah atau penyelenggara hajatan mengundang tetangga untuk menghadiri acara tersebut. Kegiatan yang disebut “kenduri” pada dasarnya merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan kelompok etnik Jawa, akan tetapi kebiasaan seperti ini juga diikuti oleh kelompok etnik lain yang tinggal di Kota Wonomulyo.
Bentuk lain adalah adanya kebiasaan saling membantu atau gotong royong manakala terjadi musibah, atau bantuan seperti pesta pernikahaan, kematian, sakit, mendirikan rumah, bentuk-bentuk bantuan tersebut dapat berupa sumbangan materi, memberikan pinjaman untuk alat-alat tertentu seperti kendaraan untuk mengurus kepentingan musibah, atau bantuan secara fisik berupa tenaga dan pikiran menyelesaikan hal-hal yang berkenaan dengan musibah itu.
Kebiasaan lain yang berlaku di kalangan kelompok etnik Jawa yaitu kegiatan “bersih Desa”. Kegiatan ini oleh Kodiran (1983) merupakan suatu tradisi desa yang sudah dilakukan didesa-desa yang umumnya terdapat dipulau Jawa berupa kegiatan membuat, memperbaiki dan memelihara jalan, jembatan, bangunan sekolah desa atau balai desa, saluran air, memelihara bendungan, dan merawat makam atau masjid.
Mencermati uraian-uraian dalam hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Dasar kehidupan ini adalah interaksi social. Interaksi sosial dengan berbagai bentuknya (asosiatif dan disosiatif) bisa terjadi dan bertahan lama disebabkan oleh adanya saling pengertian antar individu. Dalam konteks interaksionisme simbolik, interaksi terjadi karena adanya simbol yang dipahami bersama. Indikator-indikator terdalam dalam proses interaksi tersebut adalah terjadinya internalisasi, objektifasi, dan reproduksi yang melahirkan prasangka, stereotype, yang akhirnya melahirkan jarak sosial.
          Terjadinya suatu kebersamaan, akomodasi, asimilasi merupakan gambaran terwujudnya pemahaman terhadap suatu simbol yang sama oleh individu dalam skala besar. Meskipun terdapat stereotipe, prasangka, yang mewarnai proses tersebut tetapi stereotipe dan prasangka tersebut bersifat positif sehingga melahirkan jarak sosial yang dekat.
          Pada saat yang sama, terciptanya kesaling pahaman terhadap simbol yang sama diawali oleh pemahaman terhadap bahasa masing-masing individu atau etnik. Seorang etnik Jawa yang memahami bahasa etnik lain akan mudah menyesuaikan diri dengan etnik tersebut. Poin terpenting dalam hal ini adalah bahwa masing-masing etnik akan berusaha memahami bahasa etnik lainnya karena adanya kepentingan yang sama khususnya pada bidang ekonomi.
          Di lokasi penelitian, bentuk-bentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi terwujud dalam berbagai aktifitas individu dan masyarakat. Aktifitas tersebut menyangkut perkawinan antar etnik, gotongroyong  baik dalam pertetanggaan maupun pertanian, kegiatan hari besar nasional dan keagamaan dan pesta rakyat. Sedangkan kompetisi merupakan bagian inheren dalam diri individu untuk selalu memperlihatkan prestasi yang diraih dalam kehidupan.
          Dalam konteks tersebut diatas, integrasi sosial akan terwujud dengan sendirinya. Kondusifnya kehidupan sosial warga dilokasi penelitian menunjukkan adanya keserasian dan harmoni sosial diantara mereka. Hal inilah yang menjadi dasar keseimbangan sistem sosial (equilibrium), dimana sistem  ekonomi, sistem pendidikan, sistem keagamaan, dan sebagainya akan mengikuti keserasian social masyarakat yang menjalankan sistem sosial tersebut.
          Uraian-uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa pendekatan interaksionisme simbolik yang sifatnya analisis mikro dapat dipergunakan untuk mengkaji aspek-aspek makro seperti integrasi. Titik temuannya adalah pada interaksi antar individu (mikro) akan menentukan kualitas sistem sosial (makro).[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar